Yusril Ihza Mahendra saat menggelar konferensi pers. (Kompas.com) |
Saat ini, UU Pemilu mengatur bahwa parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung calon presiden dan calon wakil presiden.
Yusril hendak melakukan uji materi ke MK agar aturan mengenai ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold tersebut dihapuskan.
Dengan begitu, semua partai yang sudah lolos verifikasi di Kementerian Hukum dan HAM bisa mengusung calonnya sendiri.
"Insya Allah saya mempunyai legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang, karena partai saya PBB telah memutuskan untuk mendukung saya maju ke pencalonan presiden tahun 2019 nanti," kata Yusril dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Minggu (23/7/2017).
Yusril mengatakan, proses pencalonan oleh PBB itu akan terhambat dengan adanya ketentuan presidential threshold 20-25 persen. Hambatan ini, bukan saja terhadap ia pribadi, tetapi kekungkinan besar akan dihadapi oleh semua bakal calon lain.
"Seperti Prabowo Subjanto yang akan dicalonkan Gerindra atau Agus Harimurti Yudhoyono yang potensial dicalonkan oleh Partai Demokrat," tambah Yusril.
Yusril mencurigai, presidential threshold 20-25 persen seperti itu, nampaknya hanya didesain untuk hanya memunculkan calon tunggal, Joko Widodo. Ia memperkirakan Jokowi akan didukung parpol pendukungnya saat ini, yakni PDI-P, Golkar, PPP, Nasdem, Hanura, PAN dan PKB.
Sementara dukungan terhadap Prabowo Subianto yang didukung oleh Gerindra dan PKS kemungkinan besar tidak akan mencapai angka 20 persen. Begitu juga Partai Demokrat sendirian juga akan sulit mendapatkan threshold 20 persen.
"PBB tentu akan lebih sulit lagi dibanding partai-partai yang lain," tambah pakar hukum tata negara ini.
Angka 20 persen, lanjut Yusril, mungkin dapat dicapai apabila Demokrat, Gerindra, dan PKS bergabung. Namun dari pengalaman selama ini, ia memprediksi hampir mustahil SBY akan bergabung dengan Gerindra mendukung Prabowo Subijanto.
"Jadi presidential threshold 20 persen memang harus dilawan untuk menghindari munculnya calon tunggal Joko Widodo," ucap Yusril.
Menurut dia, calon tunggal seperti itu bukan saja tidak baik bagi bagi perkembangan demokrasi, tetapi juga akan menimbulkan persoalan konstitusionalitas. UUD 45 pasca amandemen mengisyaratkan pasangan calon presiden atau wakil presiden lebih dari sepasang.
Oleh karena itu, perlawanan terhadap presidential threshold ke MK ini adalah jalan konstitusional terakhir yang dapat ditempuh. Tidak ada jalan lain lagi di luar hukum dan konstitusi yang dapat dilakukan setelah fraksi-fraksi yang menentang presidential threshold kalah suara di DPR.
"Karena itu, saya sangatlah berharap MK akan bersikap benar-benar obyektif dan akademik menangani perkara yang sarat dengan kepntingan politik yang sangat besar ini," kata dia.
MK pun diharapkan agar memutus segera permohonan ini sebelum bulan Oktober 2017, ketika tahapan Pemilu 2019 telah dimulai.
Kalau MK terlambat atau sengaja melambat-lambatkannya, maka meskipun andainya permohonan ini dikabulkan, maka putusan itu belum tentu dapat dilaksanakan untuk Pemilu 2019.
Akhirnya, putusan itu akan sama dengan putusan MK tentang pemilu serentak. Putusan diambil tahun 2014, namun Ketua MK ketika itu, Hamdan Zulva, membacakan putusan dengan mengatakan pemilu serentak baru dilaksakan tahun 2019.
Sementara aturan pemilu tidak serentak itu sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 45 oleh MK sebelum pelaksanan Pemilu 2014.
"Ini adalah sebuah anomali dan keanehan putusan MK yang tidak usah diulang lagi," ucap pria yang juga berprofesi sebagai pengacara ini.
Yusril mengaku akan secepatnya melakukan uji materil ke MK. Namun ia harus menunggu disahkannya UU tersebut, dalam arti ditandatangani presiden, dinomori dan dimuat dalam lembaran negara.
"Tanpa selesainya proses itu, pendaftaran pengujian UU blm bisa dilakukan. Kalau pengesahan RUU ini selesai pekan depan, maka pekan depan ini juga pendaftaran permohonannya saya lakukan," kata dia.