
SAPA (TIMIKA) - Akibat pembuangan limbah Tailing perusahaan PT Freeport Indonesia, akses jalan menuju 17 Kampung di Distrik Jita dan Distrik Mimika Timur Jauh nyaris tidak bisa dilalui. Diperkirakan tahun 2020 mendatang jalur yang melalui Tanggul Timur dan Tanggul Barat dan Puriri akan menjadi daratan. Kondisi ini sangat memprihatinkan bagi warga masyarakat yang pulang dan pergi melalui jalur laut.
“Kondisi ini sudah lama terjadi, terkesan ada proses pembiaran yang membuat warga di pesisir pantai semakin sulit untuk dijangkau,” kata Wakil Sekretaris Dewan Pimpinan Adat (DPA) Lembaga Musayawarah Adat Suku Kamoro (Lemasko) Hendrikus Atapemame ketika ditemui Salam Papua di Kantor Lemasko di jalan Yos Sudarso, Rabu (20/09).
Dia mengatakan, PT Freeport Indonesia harus bertanggung jawab terhadap pembuangan limbah perusahaan berupa Tailing. Karena, dampak limbah tailing ini membuat akses jalan menuju Distrik Mimika Timur nyaris terputus.Sementara, akses jalan menuju ke 17 kampung itu hanya bisa melalui jalur Tanggul Timur, barat dan Puriri. Semestinya, PT Freeport membuat alternatif pembuangan limbah diarahkan ke lokasi lain, sehingga tidak mengganggu akses jalan. Kini lima kampung berdampak langsung akibat pembuangan limbah tailing melewati Koperapoka, Tipuka, Ayuka, Nawaipi dan Nawaro.
Menurut Hendrikus akibat pembuangan limbah ini, masyarakat tidak mendapat pelayanan dan di kuatirkan banyak tidak terjangkau. Jika itu terjadi, warga masyarakat pastibanyak yang meninggal di Kampung. Kondisi itu juga Pemerintah Daerah dalam hal ini Badan Lingkungan Hidup tidak pernah menyampaikan kepada masyarakat terkait bahaya dari pembuangan limbah.
“Kampung yang ada di pesisir pantai dikuatirkan akan menjadi kampung terisolasi. Maka warganya tidak dapat menerima akses pelayanan kesehatan, makanan dan lainnya. Tidak hanya itu, Pemerintah harus menjelaskan dampak dan bahaya dari pembuangan limbah ini,” katanya.
Dia mengakui sebenarnya ada wacana dan kesepakatan dalam program PT Freeport Indonesia untuk mengatasi limbah tersebut. Namun, kenyataan di lapangan tidak pernah terjadi. Kesepakatan itupernah dijanjikan PT Freeport Indonesia dengan warga yang terkena dampak langsung berupa, pelayanan kesehatan, ekonomi dan pelayanan lainnya, namun tidak pernah terealisasi. Realita seperti ini terkadang bertentangan dengan keinginan masyarakat dan menimbulkan konflik ditengah tengah masyarakat.
Hendrikus mengharapkan PT Freeport harus mengarahkan pembuangan limbah tailing ke tempat lain yang tidak menganggu akses jalan warga yang melintas. Dan PT. Freeport Indonesia harus mengandeng perusahaan lain yang dapat mengatasi limbah tailing tersebut. Sehingga, limbah tailing ini bisa dikelola dengan baik. Supaya akses jalan menuju kampung kampung di pesisir dapat berjalan dengan baik.
“Pemerintah Daerah Kabupaten Mimika diharapkan juga dapat berperan serta dalam mengatasi permasalahan limbah tailing ini,” harapnya. (Tomy)