BERITA MALUKU. Kaum perempuan dari berbagai kalangan di Ambon, Jumat (5/1/2018), mendiskusikan peran dan ketokohan pahlawan Martha Christina Tiahahu atau lebih dikenal dengan Ina Ata dalam "Perempuan dan Pusaka Budaya".
Digelar oleh Balai Arkeologi Maluku, diskusi tersebut menghadirkan Kepala Museum Siwalima Jean Saiya, Guru Besar Antropologi Universitas Pattimura (Unpatti) Prof Hermien Soselissa, akademisi Unpatti Mariana Lewier dan peneliti dari Balai Arkeologi Maluku Marlyn Salhuteru sebagai narasumber.
Kegiatan yang digelar untuk memperingati 200 tahun perjuangan Ina pada 2 Januari 2017 itu, dihadiri oleh sejumlah perempuan dari berbagai kalangan, seperti peneliti, akademisi, agama, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Prof Hermien Soselissa sebagai pembicara pertama pada diskusi ringan tersebut mengatakan Ina Ata dalam perannya sebagai perempuan pejuang, lebih banyak dikenal sebagai seorang "petarung" di medan perang.
Jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya dia bukan hanya seorang pejuang dalam peperangan, tapi perempuan yang mati muda itu juga telah mengambil peran besar dalam politik.
Hal ini terlihat dari keputusannya untuk melanjutkan perjuangan sang ayah yang tertangkap dan dihukum mati. Meski masih berusia belasan tahun, Ina Ata telah berani mengambil peran sebagai pemimpin pasukan dalam peperangan.
Sedangkan pada masa itu, kata Hermien, masih sedikit perempuan Maluku yang mengambil peran langsung yang berkaitan dengan "tugas" laki-laki.
"Masih perlu banyak kajian yang lebih mendalam mengenai sosok Ina Ata karena sesungguhnya kita tidak benar-benar tahu sosok aslinya seperti apa, dia lebih dikenal sejak kematian ayahnya, tapi yang perlu digaris bawahi adalah keputusannya itu juga bersifat politik," katanya.
Melanjutkan Prof Hermien, menurut akademisi Mariana Lewier, Ina Ata telah menorehkan catatan sejarah bahwa pada masa lampau perempuan yang diidentikan dengan berada di "garis belakang", tidaklah selalu demikian.
Kisah heroik dan peran Ina Ata hidup dalam sejarah lisan di Maluku. Meski muda tapi keadaan telah membuatnya berani bertindak, bahkan melebihi kodrat fisiknya sebagai perempuan.
Tindakannya itu di kemudian hari telah menginspirasi banyak kaum perempuan di Maluku untuk mengambil lebih banyak peran dalam masyarakat.
"Selain Ina Ata, dalam tradisi tutur kita mengenal sosok-sosok lainnya yang meski masih muda tapi dengan keras hatinya tidak menyerah pada keadaan, salah satunya adalah Taina Luhu atau Nene Luhu," ucap Mariana.
Kepala Museum Siwalima Jean Saiya menjelaskan berdasarkan kodratnya, pembagian peran dan tugas antara laki-laki dan perempuan sudah tergambar dengan jelas dalam kehidupan sosial masyarakat Maluku sejak masa lampau.
Perempuan dalam konteks menjalankan peran dan tanggung jawabnya, bukan menjadi orang kedua sesudah laki-laki, melainkan sosok yang dengan sendirinya telah memelihara tradisi dan pusaka budaya.
"Perempuanlah yang menghidupkan tradisi dan pusaka-pusaka budaya, bahkan itu sudah dimulai dari peran, tugas dan tanggung jawabnya dalam keluarga. Ini bisa kita lihat pada sosok ibu," ucapnya.
Marlyn Salhuteru, peneliti dari Balai Arkeologi Maluku mengatakan institusinya baru sekali melakukan penelitian di daerah kelahiran Ina Ata, yakni Desa Abudu, Kecamatan Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah.
Penelitian itu juga bukan tentang kehidupan sang pahlawan, tapi lebih menitik beratkan pada sejarah kolonial dan penyebaran agama di Nusalaut.
"Penelitian di Nusalaut sudah pernah, tapi untuk spesifik tentang Martha Christina belum pernah," ujarnya.
Digelar oleh Balai Arkeologi Maluku, diskusi tersebut menghadirkan Kepala Museum Siwalima Jean Saiya, Guru Besar Antropologi Universitas Pattimura (Unpatti) Prof Hermien Soselissa, akademisi Unpatti Mariana Lewier dan peneliti dari Balai Arkeologi Maluku Marlyn Salhuteru sebagai narasumber.
Kegiatan yang digelar untuk memperingati 200 tahun perjuangan Ina pada 2 Januari 2017 itu, dihadiri oleh sejumlah perempuan dari berbagai kalangan, seperti peneliti, akademisi, agama, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Prof Hermien Soselissa sebagai pembicara pertama pada diskusi ringan tersebut mengatakan Ina Ata dalam perannya sebagai perempuan pejuang, lebih banyak dikenal sebagai seorang "petarung" di medan perang.
Jika dikaji lebih dalam, sesungguhnya dia bukan hanya seorang pejuang dalam peperangan, tapi perempuan yang mati muda itu juga telah mengambil peran besar dalam politik.
Hal ini terlihat dari keputusannya untuk melanjutkan perjuangan sang ayah yang tertangkap dan dihukum mati. Meski masih berusia belasan tahun, Ina Ata telah berani mengambil peran sebagai pemimpin pasukan dalam peperangan.
Sedangkan pada masa itu, kata Hermien, masih sedikit perempuan Maluku yang mengambil peran langsung yang berkaitan dengan "tugas" laki-laki.
"Masih perlu banyak kajian yang lebih mendalam mengenai sosok Ina Ata karena sesungguhnya kita tidak benar-benar tahu sosok aslinya seperti apa, dia lebih dikenal sejak kematian ayahnya, tapi yang perlu digaris bawahi adalah keputusannya itu juga bersifat politik," katanya.
Melanjutkan Prof Hermien, menurut akademisi Mariana Lewier, Ina Ata telah menorehkan catatan sejarah bahwa pada masa lampau perempuan yang diidentikan dengan berada di "garis belakang", tidaklah selalu demikian.
Kisah heroik dan peran Ina Ata hidup dalam sejarah lisan di Maluku. Meski muda tapi keadaan telah membuatnya berani bertindak, bahkan melebihi kodrat fisiknya sebagai perempuan.
Tindakannya itu di kemudian hari telah menginspirasi banyak kaum perempuan di Maluku untuk mengambil lebih banyak peran dalam masyarakat.
"Selain Ina Ata, dalam tradisi tutur kita mengenal sosok-sosok lainnya yang meski masih muda tapi dengan keras hatinya tidak menyerah pada keadaan, salah satunya adalah Taina Luhu atau Nene Luhu," ucap Mariana.
Kepala Museum Siwalima Jean Saiya menjelaskan berdasarkan kodratnya, pembagian peran dan tugas antara laki-laki dan perempuan sudah tergambar dengan jelas dalam kehidupan sosial masyarakat Maluku sejak masa lampau.
Perempuan dalam konteks menjalankan peran dan tanggung jawabnya, bukan menjadi orang kedua sesudah laki-laki, melainkan sosok yang dengan sendirinya telah memelihara tradisi dan pusaka budaya.
"Perempuanlah yang menghidupkan tradisi dan pusaka-pusaka budaya, bahkan itu sudah dimulai dari peran, tugas dan tanggung jawabnya dalam keluarga. Ini bisa kita lihat pada sosok ibu," ucapnya.
Marlyn Salhuteru, peneliti dari Balai Arkeologi Maluku mengatakan institusinya baru sekali melakukan penelitian di daerah kelahiran Ina Ata, yakni Desa Abudu, Kecamatan Nusalaut, Kabupaten Maluku Tengah.
Penelitian itu juga bukan tentang kehidupan sang pahlawan, tapi lebih menitik beratkan pada sejarah kolonial dan penyebaran agama di Nusalaut.
"Penelitian di Nusalaut sudah pernah, tapi untuk spesifik tentang Martha Christina belum pernah," ujarnya.
from Berita Maluku Online Kaum Perempuan di Ambon Diskusikan Peran dan Ketokohan Christina Tiahahu - Berita Harian Teratas