Ditulis Oleh:
Fadhilah Sophia Latupono
Mahasiswi Politeknik Keuangan Negara STAN
TAHUN 2020 diawali dengan permulaan yang berat bagi seluruh sektor industri di Indonesia, termasuk salah satunya adalah industri perbankan. Sektor riil terpukul secara langsung dengan adanya penurunan laju ekonomi global akibat pandemi Covid-19 atau yang lebih akrab kita kenal dengan nama Corona. Pandemi tersebut menyebabkan adanya goncangan pasar dan ekonomi di segala aspek dan telah menekan aktivitas bisnis, termasuk meningkatkan risiko aset perbankan. Sektor finansial pun tidak menunggu lama untuk ikut masuk ke dalam riak ombak tersebut.
Perbankan berperan penting sebagai perangsang aktivitas ekonomi masyarakat agar dapat tetap berjalan walau selama pandemi Covid-19 berlangsung. Adalah penting bagi sektor perbankan untuk melakukan inovasi layanan jasa keuangan agar dapat terus memfasilitasi masyarakat dalam mengakses jasa keuangan. Dengan kata lain, masa pandemi tidak boleh menjadi dalih bahwa perbankan tidak dapat memberi pelayanan secara optimal kepada masyarakat.
Perbankan harus berupaya untuk tetap berada dalam kondisi sehat dan berkinerja baik. Hal ini dapat diukur dari pertumbuhan kredit perbankan. Rasio-rasio kinerja keuangan perseroan dapat menjaga kualitas kredit dan penguatan cadangan perseroan. Likuiditas yang cukup dan terjaga menjadikan perbankan dapat tetap konsisten menjalankan fungsi intermediasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap menyumbangkan angka pertumbuhan kredit yang positif. Hal ini menjadikan perbankan dapat tetap menyalurkan pembiayaan ke sektor-sektor ekonomi untuk tetap produktif. Penyiapan cadangan saat pandemi Covid-19 dilakukan dengan menjaga Rasio LCR (Liquidity Coverage Ratio) bank di atas ambang yang ditetapkan, yaitu 100%.
Proyeksi besarnya dampak yang timbul selama pandemi bergantung pada kondisi permodalan perbankan saat ini. Selain memperhatikan kesejahteraan masyarakat umum, pemerintah harus pula memperhatikan nasib para pengusaha agar consumer growth tahun ini tetap berada pada posisi wajar.
Perusahaan besar dan UMKM yang tengah melakukan kredit berpotensi besar terlambat mengangsur cicilannya atau bahkan tidak bisa membayar sama sekali (gagal bayar). Ditambah lagi, pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS makin mempersulit perusahaan-perusahaan yang berkredit dalam dolar AS namun pendapatannya datang berbentuk rupiah. Hal ini juga berimpas pada pengusaha menengah ke bawah dengan utang dolar tetapi berpenghasilan rupiah. Alih-alih cicilan menjadi relatif lebih mahal, risiko terjadinya kredit macet pun makin melebar.
Saat ini, pihak regulator dan industri perbankan tengah bersiap menghadapi perkara terjadinya kredit macet guna mencegah keadaan semakin memburuk. Kredit macet adalah kondisi ketika debitur tidak mampu lagi membayar atau mencicil pinjaman yang dilakukannya. Peningkatan risiko kredit macet tidak hanya akan berdampak pada stabilitas perbankan, melainkan dapat pula menggoyahkan sistem perekonomian nasional secara agregat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) untuk memberi kelonggaran pembayaran kredit kepada industri terdampak. OJK mulai mengambil inisiasi dengan menerapkan kebijakan pemberian stimulus bagi perekonomian untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19. Kebijakan tersebut tercantum dalam Peraturan OJK (PJOK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-19. Upaya tersebut dimaksudkan sebagai insentif bagi masyarakat terdampak pandemi Covid-19.
Peraturan OJK ini kemudian menjadi acuan industri perbankan untuk melakukan langkah-langkah relaksasi terhadap debitur. Perbankan membuat mekanisme bagaimana implementasi kebijakan tersebut dan kemudian dimonitor oleh OJK. Ada dua kebijakan pokok relaksasi yang dikeluarkan oleh OJK, yaitu kualitas aset dan restrukturisasi.
Terkait kualitas aset, kebijakan ini diberlakukan hanya untuk debitur dengan plafon kredit di bawah Rp10 milyar. Sebelumnya, perhitungan kolektibilitas perbankan menggunakan tiga pilar, yakni meliputi Ketepatan Pembayaran Pokok dan Bunga, Prospek Usaha Debitur, dan Kondisi Keuangan Debitur. Kini di tengah pandemi Covid-19, bank cukup menilai aspek Ketepatan Pembayaran Pokok dan Bunga saja.
Adapun kebijakan restrukturisasi teknisnya masih sama seperti ketentuan sebelumnya. Ada tiga pola restrukturisasi yang bisa dilakukan, yaitu terdiri atas rescheduling, restructuring, reconditioning. Meski ketentuan restrukturisasi POJK tentang stimulus perekonomian nasional telah keluar, POJK tersebut masih merupakan panduan umum. Sedangkan teknis dilakukannya restrukturisasi diserahkan pada masing-masing bank mengingat masalah yang dihadapi debitur berbeda-beda.
Kelonggaran kebijakan adalah hal yang paling dinanti masyarakat. Pemerintah melalui OJK telah memberikan fasilitas keringanan pembayaran kredit bagi debitur yang terdampak pandemi Covid-19. Stimulus yang dirilis OJK telah menjadi angin segar bagi perbankan di tengah masa sulit seperti sekarang. Meski demikian, tidak semua nasabah bisa memperoleh pelonggaran ini. Keringanan yang diberikan yaitu dengan diberlakukannya perpanjangan jangka waktu pembayaran dan pembayaran angsuran kredit sebagian (partial payment).
Di lain sisi, pemerintah pusat perlu memperhatikan sejumlah hal dalam mengeluarkan kebijakan relaksasi pembayaran kredit selama satu tahun oleh masyarakat. Penilaian terhadap kondisi debitur harus dilakukan secara cermat dan hati-hati agar tidak ada penyalahgunaan yang terjadi, sehingga sektor perbankan tidak merugi akibat kebijakan tersebut. Pasalnya, di tengah pandemi ini, bank akan menghadapi risiko kredit macet yang lebih tinggi perihal kondisi Dana Pihak Ketiga (DPK) sedang tidak bagus-bagusnya. Likuiditas bank-bank besar juga menurun bahkan ada yang mulai kekurangan. Jangan sampai di tengah pandemi, terjadi pula ledakan masalah di sektor keuangan.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah pemerintah memberikan insentif bagi perbankan atau perusahaan pembiayaan (leasing), misalnya dalam bentuk obligasi jangka pendek. Bank dan leasing memperoleh dana dari pihak ketiga atau nasabah yang mempercayakan uangnya. Karena di saat bank harus menunda kredit, masih ada kewajiban menyetorkan bunga kepada nasabah dan menjaga kecukupan uang apabila nasabah ingin menariknya.
BI dapat mengambil kebijakan menurunkan tingkat suku bunga acuan agar arus uang dapat terjaga dan beban bunga bisa menurun. Akan tetapi, BI jangan kebablasan menurunkan suku bunga acuan karena apabila suku bunga acuan mendekati atau berada pada posisi 0%, maka BI tidak bisa lagi menurunkan bunganya maupun menarik masyarakat lebih banyak agar membelanjakan uangnya daripada menabung.
Selain itu, Kementerian Keuangan dapat menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final atas bunga simpanan di perbankan sebagai insentif agar nasabah tidak menarik atau memindahkan dananya secara berlebihan.
Adalah penting bagi OJK untuk memperketat pengawasan kondisi arus dana perbankan, terutama untuk kelompok bank dengan modal inti kecil. OJK dapat menganjurkan bank untuk menerbitkan obligasi agar dapat memperkuat availability of funds (ketersediaan dana). OJK juga harus mencegah terjadinya bank panic dengan memastikan tidak terjadi kasus bank gagal di kala krisis.
Kebijakan relaksasi kredit sebenarnya punya niat baik, namun di sisi lain belum bisa dikatakan siap secara utuh. Terjemahan kebijakan di level OJK dan perbankan masih belum sepenuhnya sempurna. Alhasil, timbul banyak perbedaan persepsi sehingga kebijakan tersebut malah bersifat kisruh bagi sebagian pihak. Misalnya ada pihak yang berpikir kredit benar-benar ditunda selama 1 tahun bahkan dibebaskan, padahal sejatinya tidak demikian.
Rangkaian kebijakan otoritas terkait diharapkan dapat menjaga laju perekonomian nasional di tengah gangguan perekonomian global akibat pandemi Corona yang penyebarannya masih terus berlanjut hingga saat ini. Selain itu, selama proses restrukturisasi, pihak bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian guna menerapkan manajemen risiko yang efektif dan ketat. Hal ini bertujuan agar kebijakan reskturisasi yang dijalankan dapat terhindar dari risiko penyalahgunaan penerapan aturan (moral hazard) yang dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum debitur yang tidak bertanggung jawab. Jangan sampai kemudi kebijakan restrukturisasi kredit yang intensinya untuk mengendalikan dan meminimalisasi risiko kredit macet justru membelongkok akibat penerapan manajemen risiko yang tidak maksimal.
Fadhilah Sophia Latupono
Mahasiswi Politeknik Keuangan Negara STAN
TAHUN 2020 diawali dengan permulaan yang berat bagi seluruh sektor industri di Indonesia, termasuk salah satunya adalah industri perbankan. Sektor riil terpukul secara langsung dengan adanya penurunan laju ekonomi global akibat pandemi Covid-19 atau yang lebih akrab kita kenal dengan nama Corona. Pandemi tersebut menyebabkan adanya goncangan pasar dan ekonomi di segala aspek dan telah menekan aktivitas bisnis, termasuk meningkatkan risiko aset perbankan. Sektor finansial pun tidak menunggu lama untuk ikut masuk ke dalam riak ombak tersebut.
Perbankan berperan penting sebagai perangsang aktivitas ekonomi masyarakat agar dapat tetap berjalan walau selama pandemi Covid-19 berlangsung. Adalah penting bagi sektor perbankan untuk melakukan inovasi layanan jasa keuangan agar dapat terus memfasilitasi masyarakat dalam mengakses jasa keuangan. Dengan kata lain, masa pandemi tidak boleh menjadi dalih bahwa perbankan tidak dapat memberi pelayanan secara optimal kepada masyarakat.
Perbankan harus berupaya untuk tetap berada dalam kondisi sehat dan berkinerja baik. Hal ini dapat diukur dari pertumbuhan kredit perbankan. Rasio-rasio kinerja keuangan perseroan dapat menjaga kualitas kredit dan penguatan cadangan perseroan. Likuiditas yang cukup dan terjaga menjadikan perbankan dapat tetap konsisten menjalankan fungsi intermediasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi dengan tetap menyumbangkan angka pertumbuhan kredit yang positif. Hal ini menjadikan perbankan dapat tetap menyalurkan pembiayaan ke sektor-sektor ekonomi untuk tetap produktif. Penyiapan cadangan saat pandemi Covid-19 dilakukan dengan menjaga Rasio LCR (Liquidity Coverage Ratio) bank di atas ambang yang ditetapkan, yaitu 100%.
Proyeksi besarnya dampak yang timbul selama pandemi bergantung pada kondisi permodalan perbankan saat ini. Selain memperhatikan kesejahteraan masyarakat umum, pemerintah harus pula memperhatikan nasib para pengusaha agar consumer growth tahun ini tetap berada pada posisi wajar.
Perusahaan besar dan UMKM yang tengah melakukan kredit berpotensi besar terlambat mengangsur cicilannya atau bahkan tidak bisa membayar sama sekali (gagal bayar). Ditambah lagi, pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS makin mempersulit perusahaan-perusahaan yang berkredit dalam dolar AS namun pendapatannya datang berbentuk rupiah. Hal ini juga berimpas pada pengusaha menengah ke bawah dengan utang dolar tetapi berpenghasilan rupiah. Alih-alih cicilan menjadi relatif lebih mahal, risiko terjadinya kredit macet pun makin melebar.
Saat ini, pihak regulator dan industri perbankan tengah bersiap menghadapi perkara terjadinya kredit macet guna mencegah keadaan semakin memburuk. Kredit macet adalah kondisi ketika debitur tidak mampu lagi membayar atau mencicil pinjaman yang dilakukannya. Peningkatan risiko kredit macet tidak hanya akan berdampak pada stabilitas perbankan, melainkan dapat pula menggoyahkan sistem perekonomian nasional secara agregat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) untuk memberi kelonggaran pembayaran kredit kepada industri terdampak. OJK mulai mengambil inisiasi dengan menerapkan kebijakan pemberian stimulus bagi perekonomian untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19. Kebijakan tersebut tercantum dalam Peraturan OJK (PJOK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Covid-19. Upaya tersebut dimaksudkan sebagai insentif bagi masyarakat terdampak pandemi Covid-19.
Peraturan OJK ini kemudian menjadi acuan industri perbankan untuk melakukan langkah-langkah relaksasi terhadap debitur. Perbankan membuat mekanisme bagaimana implementasi kebijakan tersebut dan kemudian dimonitor oleh OJK. Ada dua kebijakan pokok relaksasi yang dikeluarkan oleh OJK, yaitu kualitas aset dan restrukturisasi.
Terkait kualitas aset, kebijakan ini diberlakukan hanya untuk debitur dengan plafon kredit di bawah Rp10 milyar. Sebelumnya, perhitungan kolektibilitas perbankan menggunakan tiga pilar, yakni meliputi Ketepatan Pembayaran Pokok dan Bunga, Prospek Usaha Debitur, dan Kondisi Keuangan Debitur. Kini di tengah pandemi Covid-19, bank cukup menilai aspek Ketepatan Pembayaran Pokok dan Bunga saja.
Adapun kebijakan restrukturisasi teknisnya masih sama seperti ketentuan sebelumnya. Ada tiga pola restrukturisasi yang bisa dilakukan, yaitu terdiri atas rescheduling, restructuring, reconditioning. Meski ketentuan restrukturisasi POJK tentang stimulus perekonomian nasional telah keluar, POJK tersebut masih merupakan panduan umum. Sedangkan teknis dilakukannya restrukturisasi diserahkan pada masing-masing bank mengingat masalah yang dihadapi debitur berbeda-beda.
Kelonggaran kebijakan adalah hal yang paling dinanti masyarakat. Pemerintah melalui OJK telah memberikan fasilitas keringanan pembayaran kredit bagi debitur yang terdampak pandemi Covid-19. Stimulus yang dirilis OJK telah menjadi angin segar bagi perbankan di tengah masa sulit seperti sekarang. Meski demikian, tidak semua nasabah bisa memperoleh pelonggaran ini. Keringanan yang diberikan yaitu dengan diberlakukannya perpanjangan jangka waktu pembayaran dan pembayaran angsuran kredit sebagian (partial payment).
Di lain sisi, pemerintah pusat perlu memperhatikan sejumlah hal dalam mengeluarkan kebijakan relaksasi pembayaran kredit selama satu tahun oleh masyarakat. Penilaian terhadap kondisi debitur harus dilakukan secara cermat dan hati-hati agar tidak ada penyalahgunaan yang terjadi, sehingga sektor perbankan tidak merugi akibat kebijakan tersebut. Pasalnya, di tengah pandemi ini, bank akan menghadapi risiko kredit macet yang lebih tinggi perihal kondisi Dana Pihak Ketiga (DPK) sedang tidak bagus-bagusnya. Likuiditas bank-bank besar juga menurun bahkan ada yang mulai kekurangan. Jangan sampai di tengah pandemi, terjadi pula ledakan masalah di sektor keuangan.
Hal lain yang dapat dilakukan adalah pemerintah memberikan insentif bagi perbankan atau perusahaan pembiayaan (leasing), misalnya dalam bentuk obligasi jangka pendek. Bank dan leasing memperoleh dana dari pihak ketiga atau nasabah yang mempercayakan uangnya. Karena di saat bank harus menunda kredit, masih ada kewajiban menyetorkan bunga kepada nasabah dan menjaga kecukupan uang apabila nasabah ingin menariknya.
BI dapat mengambil kebijakan menurunkan tingkat suku bunga acuan agar arus uang dapat terjaga dan beban bunga bisa menurun. Akan tetapi, BI jangan kebablasan menurunkan suku bunga acuan karena apabila suku bunga acuan mendekati atau berada pada posisi 0%, maka BI tidak bisa lagi menurunkan bunganya maupun menarik masyarakat lebih banyak agar membelanjakan uangnya daripada menabung.
Selain itu, Kementerian Keuangan dapat menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final atas bunga simpanan di perbankan sebagai insentif agar nasabah tidak menarik atau memindahkan dananya secara berlebihan.
Adalah penting bagi OJK untuk memperketat pengawasan kondisi arus dana perbankan, terutama untuk kelompok bank dengan modal inti kecil. OJK dapat menganjurkan bank untuk menerbitkan obligasi agar dapat memperkuat availability of funds (ketersediaan dana). OJK juga harus mencegah terjadinya bank panic dengan memastikan tidak terjadi kasus bank gagal di kala krisis.
Kebijakan relaksasi kredit sebenarnya punya niat baik, namun di sisi lain belum bisa dikatakan siap secara utuh. Terjemahan kebijakan di level OJK dan perbankan masih belum sepenuhnya sempurna. Alhasil, timbul banyak perbedaan persepsi sehingga kebijakan tersebut malah bersifat kisruh bagi sebagian pihak. Misalnya ada pihak yang berpikir kredit benar-benar ditunda selama 1 tahun bahkan dibebaskan, padahal sejatinya tidak demikian.
Rangkaian kebijakan otoritas terkait diharapkan dapat menjaga laju perekonomian nasional di tengah gangguan perekonomian global akibat pandemi Corona yang penyebarannya masih terus berlanjut hingga saat ini. Selain itu, selama proses restrukturisasi, pihak bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian guna menerapkan manajemen risiko yang efektif dan ketat. Hal ini bertujuan agar kebijakan reskturisasi yang dijalankan dapat terhindar dari risiko penyalahgunaan penerapan aturan (moral hazard) yang dapat disalahgunakan oleh oknum-oknum debitur yang tidak bertanggung jawab. Jangan sampai kemudi kebijakan restrukturisasi kredit yang intensinya untuk mengendalikan dan meminimalisasi risiko kredit macet justru membelongkok akibat penerapan manajemen risiko yang tidak maksimal.
from Berita Maluku Online | Berita Terkini Dari Maluku Hadapi Kredit Macet Saat Corona, Ini Yang Harus Dilakukan Perbankan - Berita Harian Teratas