SEBENARNYA seni pahat atau seni ukir tradisional Tanimbar - Maluku belum banyak yang tahu, padahal budaya mengukir orang Tanimbar, baik dengan menggunakan media kayu, batu maupun material lainnya sudah dilakukan sejak dahulu kala.
Jika dicermati, seni ukir Tanimbar terlihat menarik, bukan hanya dari segi estetika melainkan dari segi spiritual karena unsur ini lebih ditonjolkan dalam berbagai bentuk dan motif atau ornamen. Pada dasarnya, bentuk dan motif yang dibuat lebih mengekspresikan suatu bentuk komunikasi ritual spriritual antara manusia dengan Sang Pencipta langit dan bumi, dan juga penghormatan kepada roh nenek moyang.
Budaya mengukir orang Tanimbar khususnya seni ukiran patung atau dalam bahasa setempat disebut “Walut”, walaupun jarang kita jumpai saat ini, namun terus ditonjolkan oleh Silvester Otmudy, lelaki asal Kepulauan Tanimbar yang berdomisili di Ambon, pusat ibukota Provinsi Maluku melalui hasil karyanya.
Karya seni ukir yang dibuat lelaki asal Desa Amdasa ini, patut dikagumi. Bila kita berkunjung ke kediamannya di OMS Atas, Kelurahan Kudamati – sekedar untuk melihat-lihat atau membeli beberapa ukiran sebagai ole-ole atau cinderamata khas daerah Maluku untuk dibawa pulang, disana mata kita akan terpana melihat beragam hasil karya seni ukiran patung yang terpajang.
Pekerjaan seni ukir ini diakui sudah dia geluti sejak tahun 1990. Rata-rata ukiran patung yang dikerjakan bercorak seni ukiran tradisional Tanimbar. Ukiran tersebut masing-masing mengandung arti dan simbol sesuai bentuk dan motif si pembuat.
Umumnya, figur ukiran patung yang diukir mengangkat tema tentang ungkapan syukur, pemujaan dan penghormatan. Contohnya, bentuk patung dengan segepok sesajen dalam genggam tangan disebut “Walut syompe” atau patung persembahan. Ada juga patung penjaga atau “Walut mangajake” yang dipercaya sebagai pelindung dan penolak bala. “Langwa Tavu” atau patung yang menjadi simbol leluhur awal pendiri sebuah klan atau suatu mata rumah. Dan juga terdapat patung pilar yang menjadi simbol penguasa alam semesta, atau disebut “Ratu mangamin medase” atau “Duan silai” serta lainnya.
“Saya tak mau budaya seni ukir patung Tanimbar ini hilang begitu saja, jadi bentuk-bentuk ini coba saya angkat kembali melalui ukuiran – ukiran tersebut,” kata Silvester.
Menurut pria setengah baya ini, arus globalisasi boleh berlari tetapi budaya seni ukir Tanimbar tak boleh ditinggalkan, sebab merupakan sesuatu yang begitu berharga baginya. Sehingga perlu diangkat kembali ke permukaan. Karena ini juga menjadi bagian dari jati diri orang Tanimbar – Maluku yang tak pernah lupa pada sejarah dan budaya asli daerah. Untuk itu, karyanya tak putus dia kerjakan, agar seni ukir Tanimbar tetap eksis sebagai salah satu warisan budaya asli daerah Maluku.
Alasan lain yang mendasari kenapa karya seni ukir patung Tanimbar yang nyaris punah ini terus dia tonjolkan, mengingat sebelum adanya pengaruh penyebaran agama Kristen di wilayah kepulauan Tanimbar dan sekitarnya, budaya pemujaan kepada Sang Pencipta langit dan bumi (Sesuai pandangan masyarakat lokal saat itu) serta penghormatan kepada roh para leluhur sudah menjadi prioritas utama dalam ritual kehidupan sosial masyarakat setempat. Itu sebabnya keberadaan media berkomunikasi spritual sangat penting. Pemujaan dan penghormatan tersebut diekspresikan melalui simbol-simbol ukiran patung dan wujud abstrak lainnya dalam beragam bentuk.
Akan tetapi munculnya penyebaran agama Kristen pada awal abad ke- 20, ditambah kehadiran para penguasa Belanda di wilayah kepulauan Tanimbar memaksa terjadinya perubahan paradigma.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa, sebagian besar karya seni ukir patung Tanimbar dibakar atau dibawa ke Belanda sebagai barang antik dan langka. Di lain pihak, penduduk pun secara tak langsung digiring meninggalkan desa yang lama menuju lokasi desa yang baru, dengan alasan bahwa kampung baru yang mau diduduki harus “bersih” dari tata cara dan praktek hidup lama yang dinilai masih bersifat berhala.
Trik ini sempat membelokkan tradisi kepercayaan dan budaya orang Tanimbar yang sudah dipertahankan sejak turun-temurun. Kendati demikian, terdapat generasi penerus Tanimbar yang masih mempertahankan sekaligus mengangkat unsur tradisi dan budaya berharga yang ditinggalkan para leluhurnya hingga kini, terutama budaya seni ukir Tanimbar yang mulai terlupakan, salah satunya seperti upaya yang dilakukan oleh Silvester.
Baginya, mengangkat budaya seni ukir Tanimbar semata-mata untuk melanjutkan karya besar para leluhur di waktu lampau, karena terdapat sejumlah pesan berharga yang tersirat di dalamnya, terutama bagi generasi penerus, agar tak gampang melupakan sejarah dan budaya asli daerah, serta petingnya bersyukur dan terus memuji kebesaran Tuhan, pencipta semesta lama, dan Sang Pemberi Hidup sekaligus menghormati para leluhur yang telah mewariskan nilai-nilai luhur budaya seperi traidisi “Duan-lolat” yang selalu diaggung-agungkan masyarakat yang mendiami pulau–pulau terluar; yang berbatasan dengan benua kanguru itu.
“Tentunya ukiran patung ini hanya dibuat sebagai suatu karya seni, bukan untuk disembah lagi melainkan untuk mengingat dan melestarikan budaya seni ukir asli daerah yang mulai terlupakan. Sekarang kita telah meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan iman dan kepercayaan kita masing-masing,” tandas lelaki tersebut.
from Berita Maluku Online | Berita Terkini Dari Maluku Mengangkat Seni Ukir “Walut” Tanimbar Yang Terlupakan - Berita Harian Teratas