KETIKA saya memaknai tuntutan Pencari Kerja (Pencaker) dari tujuh suku, diantaranya Suku Kamoro, Amungme, Moni, Dani, Nduga, Damal dan suku Mee beraksi menuntut PT Freeport Indonesia mengakomodir warga Pencaker dari tujuh suku. Saya sangat miris! Bahkan, saya terasa baru bangun dari mimpi yang panjang ketika melihat foto para pencaker itu sambil bertanya dalam hati. Bagaimana bisa terjadi para pemilik tanah ulayat tambang raksasa Freeport terabaikan, terpinggirkan dan mendahulukan yang lain?”. Apa salah dan dosa mereka?”.
Tentu reaksi para pemilik ulayat tambang Freeport tidak ada yang salah dan keliru. Kalaupun toh mereka sedikit keseleo lidah mengumpat saudara-saudara lain dari luar lebih mudah terakomodir, kita mesti paham dan mengerti. Itu pratanda ada yang salah atau ada kelompok yang salah mengurus semua keseimbangan dalam menciptakan lapangan kerja di area tambang Freeport. Ataukah reaksi dari para Pencaker ini sebuah isyarat yang memperlihatkan wajah buruk dari output pendidikan?” Karena seseorang akan cinta pada kebijaksanaan, menjunjung tinggi harkat dan martabat, memiliki integritas dan cerdas dalam bersikap serta bertindak buah dari menabung ilmu mengubah hidup.
Saya teringat dengan goresan tangan saya menulis seorang sosok anak Papua, Charles Toto berjudul “Cato, mengguncang dunia dari hutan rimba Papua.” Charles Toto yang akrab disapa Cato para sahabatnya berasal dari keluarga miskin. Tetapi, berkat ilmu dan keterampilan yang dimilikinya mengantar Cato pada tataran hidup yang lebih baik dan bisa membantu banyak anak-anak Papua yang lain serta mengharumkan nama Papua di berbagai belahan dunia. Selain itu, saya sering bertanya pada teman yang sudah sarjana dan sudah memperoleh pekerjaan, bagaimana rasanya sudah bekerja? Rata-rata menjawab gembira karena bisa membantu biaya pendidikan adik-adiknya. Bahkan pertanyaan serupa juga saya pernah ajukan kepada para pembersih jalan di kota dan pembantu rumah tangga, jawabnya sama. Gaji yang diterima sebagian ditabung untuk membantu pendidikan keluarganya.
Artinya, masyarakat sangat menyadari untuk mengubah nasib seseorang, pendidikan satu-satunya jalan yang mesti ditempuh. Orangtua yang berhasil mengantarkan pendidikan anak-anaknya yang berkualitas jauh lebih berharga daripada mewariskan harta tanpa disertai pendidikan.
Maka potret dari reaksi para Pencaker yang menuntut diakomodir bekerja di tambang Freeport Indonesia memperlihatkan wajah buruk dari sistem pendidikan kita selama ini. Dan bias dari kebiasaan buruk kita tidak pandai menabung ilmu untuk mengubah hidup dan masa depan. Sebab kalau kita berkaca dalam skala nasional, kita bisa membandingkan, wilayah dan etnik yang maju selalu berkorelasi dengan tradisi dan tingkat pendidikan yang sudah mapan. Sekarang ini dunia pendidikan, mau tak mau, terseret masuk pada persaingan mutu produk layaknya dunia industri. Dan lebih buruk lagi, kalau kita tidak terbiasa menabung ilmu untuk menata dan memperbaiki masa depan, kita akan tenggelam dalam kubangan yang paling dalam pada era persaingan saat ini yang menuntut memiliki ilmu dan ketrampilan tertentu.
Kondisi saat ini, prestasi sebuah sekolah dan universitas tidak bisa lagi sekadar memperbanyak wisudawan-wisudawati tanpa yang bersangkutan memiliki kedalaman, teori ilmiah, skill, kemampuan komunikasi sosial dan integritas. Ketika melamar pekerjaan, semata mengandalkan ijazah dan tidak ada jaminan diterima tanpa tambahan pendukung lain, misalnya, pengalaman kerja, kemampuan berbahasa asing keterampilan komputer dan komunikasi sosial.
Situasi ini jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, ketika jumlah sarjana masih sedikit. Sehingga siapa pun memiliki ijazah menjadi jaminan untuk memperoleh pekerjaan.
Saya sangat kuatir ke depan kita jadi mangsa empuk dan menggiurkan bagi negara produsen dan eksportir asing. Karena jumlah penduduk Indonesia yang tinggi dan sumber alamnya yang melimpah. Sementara Sumber Daya Alama (SDA) semakin menipis dan lingkungan rusak. Maka kita tidak bisa lagi memberikan harapan besar atas belas kasih alam, tanpa dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih. Kita tidak bisa pula menuntut sesuatu hanya karena kita pemangku wilayah dan pemilik segala kekayaan alam sekitar kita. Karena kekayaan alam sekitar bisa dijamah ketika kita sudah menabung ilmu untuk menggali potensi itu sebagai sumber mengubah hidup dan masa depan. (Fidelis S Jeminta)