BERITA MALUKU. Setelah lima tahun berlalu, akhirnya masyarakat Nalahia dan Waraka kembali dipertemukan dalam ritual adat panas pela Risapori Henalatu dan Paisine Yamalatu.
Panas pela kedua negeri ini berlangsung di Nalahia, Selasa (19/12/2017), sekaligus meresmikan monumen pela darah.
Turut dihadiri Staf Ahli bidang pembangunan, Roni S. W Tairas mewakili Gubernur Maluku Said Assagaff, Asisten I setda Maluku Tengah Wem Istia mewakili Bupati Abua Tuasikal, Anggota DPD RI Novita Anakotta, Ketua DPD Gerindra Maluku Hendrik Lewerissa, Seketaris Dinas Perhubungan Provinsi Maluku Meki Lohi, Raja Nalahia G leiwakabessy, Raja Waraka P. R. Lailosa, serta ribuan masyarakat Risapori Henalatu dan Paisine Yamalatu, baik dalam daerah Maluku, luar provinsi maupun dari Belanda.
Panas Pela Nalahia dan Waraka menurut Gubernur dalam sambutannya, yang dibacakan Roni Tairas, merupakan upaya revitalisasi kearifan lokal dimana setiap kebudayaan lokal merupakan bagian dari khazanah kebudayaan nusantara.
"Revitalisasi kearifan lokal dalam panas pela ini merupakan upaya kita untuk mentransformasikan nilai-nilai kearifan lokal, khususnya kesadaran hidup orang basudara dalam menghadapi dinamika masyarakat yang makin multikultural dewasa ini," ujarnya.
Dijelaskan, ikatan pela sebagai identitas manusia Maluku yang khas, sesungguhnya telah menyuguhkan sebuah tingkat keadaban yang tinggi dalam pertalian sejati hidup orang basudara, sebagaimana ungkapan luhur katong samua, yaitu potong di kuku rasa di daging, ale rasa beta rasa, sagu salempeng dibagi dua.
Untuk itu, dirinya meminta para Raja Latupati, untuk kembali melakukan revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai modal sosial kultural dalam rangka membangun Maluku yang rukun, religius, damai, sejahtera, aman, berkualitas dan demonstratis dijiwai semangat siwalima berbasis kepulauan secara berkelanjutan.
Tak lupa, orang nomor satu di Maluku ini mengajak seluruh masyarakat kedua negeri untuk ingat mengingat pesan para moyang-moyang dan datuk-datuk katong samua, jang langgar dong pung janji. "Sei Hari Hatu, Hatu Hari Esepany (Siapa Balik Batu, Batu Balik Tindis Dia).
"Kuatkanlah ikatan pela ini wahai saudara-saudaraku dari Nalahia dan Waraka atau samua basudara pela, gandong, Wari wa, yang ada di kabupaten ini, seperti janji para leluhur di Nunusaku, yaitu Nunu Pari Hatu, Hatu Pari Nunu (Persatuan atau persaudaraan itu laksana pohon beringin yang melingkari batu karang dan batu karang melingkari pohon beringin," pungkasnya.
Sementara itu, Bupati Maluku Tengah dalam sambutannya yang dibacakan Asisten I bidang pemerintahan dan pembangunan, Wem Istia mengungkapkan, panas pela Nalahia - Waraka bukan sekedar ekpresi seromonial acara adat namun lebih dari itu memberikan kesan moral kultural dan religius yang sangat bermakna, yang harus dipertahankan oleh masyarakat tentang nilai kasih, menyayanggi, serta adat istiadat sebagai modal sosial dalam mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama.
Menurutnya, panas pela merupakan warisan berharga, sekaligus sebagai tanda pengingat kepada generasi penerus, bahwa kita memiliki warisan identitas budaya yang patut dibanggakan, dengan tidak melupakan asal usul,
"Kita patut bangga sebagai pembuktian bahwa agama, adat dan budaya bisa dapat dipertahankan dalam menciptakan keharmonisan dan kedamaian hidup," tegasnya.
Panas pela Nalahia dan Waraka kemudian ditutup dengan ibadah syukuran yang berlangsung di Gereja Sion.
Panas pela kedua negeri ini berlangsung di Nalahia, Selasa (19/12/2017), sekaligus meresmikan monumen pela darah.
Turut dihadiri Staf Ahli bidang pembangunan, Roni S. W Tairas mewakili Gubernur Maluku Said Assagaff, Asisten I setda Maluku Tengah Wem Istia mewakili Bupati Abua Tuasikal, Anggota DPD RI Novita Anakotta, Ketua DPD Gerindra Maluku Hendrik Lewerissa, Seketaris Dinas Perhubungan Provinsi Maluku Meki Lohi, Raja Nalahia G leiwakabessy, Raja Waraka P. R. Lailosa, serta ribuan masyarakat Risapori Henalatu dan Paisine Yamalatu, baik dalam daerah Maluku, luar provinsi maupun dari Belanda.
Panas Pela Nalahia dan Waraka menurut Gubernur dalam sambutannya, yang dibacakan Roni Tairas, merupakan upaya revitalisasi kearifan lokal dimana setiap kebudayaan lokal merupakan bagian dari khazanah kebudayaan nusantara.
"Revitalisasi kearifan lokal dalam panas pela ini merupakan upaya kita untuk mentransformasikan nilai-nilai kearifan lokal, khususnya kesadaran hidup orang basudara dalam menghadapi dinamika masyarakat yang makin multikultural dewasa ini," ujarnya.
Dijelaskan, ikatan pela sebagai identitas manusia Maluku yang khas, sesungguhnya telah menyuguhkan sebuah tingkat keadaban yang tinggi dalam pertalian sejati hidup orang basudara, sebagaimana ungkapan luhur katong samua, yaitu potong di kuku rasa di daging, ale rasa beta rasa, sagu salempeng dibagi dua.
Untuk itu, dirinya meminta para Raja Latupati, untuk kembali melakukan revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal sebagai modal sosial kultural dalam rangka membangun Maluku yang rukun, religius, damai, sejahtera, aman, berkualitas dan demonstratis dijiwai semangat siwalima berbasis kepulauan secara berkelanjutan.
Tak lupa, orang nomor satu di Maluku ini mengajak seluruh masyarakat kedua negeri untuk ingat mengingat pesan para moyang-moyang dan datuk-datuk katong samua, jang langgar dong pung janji. "Sei Hari Hatu, Hatu Hari Esepany (Siapa Balik Batu, Batu Balik Tindis Dia).
"Kuatkanlah ikatan pela ini wahai saudara-saudaraku dari Nalahia dan Waraka atau samua basudara pela, gandong, Wari wa, yang ada di kabupaten ini, seperti janji para leluhur di Nunusaku, yaitu Nunu Pari Hatu, Hatu Pari Nunu (Persatuan atau persaudaraan itu laksana pohon beringin yang melingkari batu karang dan batu karang melingkari pohon beringin," pungkasnya.
Sementara itu, Bupati Maluku Tengah dalam sambutannya yang dibacakan Asisten I bidang pemerintahan dan pembangunan, Wem Istia mengungkapkan, panas pela Nalahia - Waraka bukan sekedar ekpresi seromonial acara adat namun lebih dari itu memberikan kesan moral kultural dan religius yang sangat bermakna, yang harus dipertahankan oleh masyarakat tentang nilai kasih, menyayanggi, serta adat istiadat sebagai modal sosial dalam mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan hidup bersama.
Menurutnya, panas pela merupakan warisan berharga, sekaligus sebagai tanda pengingat kepada generasi penerus, bahwa kita memiliki warisan identitas budaya yang patut dibanggakan, dengan tidak melupakan asal usul,
"Kita patut bangga sebagai pembuktian bahwa agama, adat dan budaya bisa dapat dipertahankan dalam menciptakan keharmonisan dan kedamaian hidup," tegasnya.
Panas pela Nalahia dan Waraka kemudian ditutup dengan ibadah syukuran yang berlangsung di Gereja Sion.
from Berita Maluku Online Gubernur Maluku: Panas Pela Nalahia dan Waraka Upaya Refitalisasi Kearifan Lokal - Berita Harian Teratas