(Tulisan kedua dari 5 tulisan)
Johannes Marcus Pattiasina bersama kolega (dua dari kanan). (foto: dok. Keluarga) |
PATTIASINA menjabat Komandan Batalion Genie Pioner sampai awal Maret 1957. Pattiasina yang telah berpangkat mayor ditarik ke Markas Tentara dan Teritorium (TT) II. Tidak lama berselang, pada 30 Maret 1957, Pattiasina mendapat kepercayaan untuk menjadi pejabat militer sebagai Komandan Militer Kota Besar (KMKB), menggantikan Komandan KMKB sebelumnya Musannif Ryacudu yang menjabat Komandan KMKB Palembang 1952-1957. Musannif Ryacudu juga merupakan pejuang pada masa kemerdekaan ini merupakan ayah dari Ryamizard Ryacudu yang pernah menjadi KSAD dan Menteri Pertahanan cabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Selain menjadi Komandan KMKB, Mayor Pattiasina juga merangkap sebagai Komandan Sriwijaya Training Center (STC) Palembang. STC ini merupakan pelatihan tentara sukarela di Palembang, yang sering melakukan latihan di Bukit Kecil, Palembang. Tentara Sukarela ini direkrut, untuk menghadapi berbagai gejolak yang terjadi di Indonesia, karena terjadi kekurangan personil, sementara ada kebutuhan tentara yang sangat mendesak.
Sekitar akhir 1957, Pattiasina praktis “terasing” dari pasukan, karena sejak sebelum kemerdekaan sampai dengan agresi militer, Pattiasina selalu dekat dengan pasukan. Setelah jabatan dicopot, praktis Pattiasina tidak memegang jabatan apapun. Hal itu tidak lepas dari “konflik” yang kian keras antara daerah dan pemerintah pusat. Hampir sebagian besar rekan Pattiasina di kalangan militer ikut atau setidaknya membenarkan perlawanan kepada pemerintah pusat. Tetapi, Pattiasina tidak bergeming, karena sebagai tentara Indonesia, maka harus tetap taat kepada Panglima Tertinggi di Jakarta.
Untuk itu, Pattiasina tidak peduli ketika semua jabatan dan pasukan ditarik darinya. Baginya, prinsip dan komitmen sebagai tentara jauh lebih penting daripada jabatan. Pattiasina yang biasanya aktif praktis hanya menjadi tentara biasa dan tetap dijalani seperti apa adanya.
Pattiasina hanya mengikuti berbagai perkembangan rekan sesama militer dan situasi yang
cenderung tidak stabil. Apalagi, konflik pusat dan daerah yang kian keras. Gejala awal sudah
tampak ketika pada tahun 1956, muncul Dewan Banteng di Sumatera Barat yang dipimpin
Letkol Ahmad Husein; Dewan Gajah di Sumatera Utara dipimpin Kolonel Mauludi Simbolon; Dewan Garuda di Sumatera Selatan dipimpin Letkol Barlian dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara dipimpin Letkol Ventje Sumual.
Pada 15 April 1958 di Bukit Tinggi, Achmad Husein menyatakan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan menetapkan Syarifudin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri yang lengkap dengan struktur menterinya. Kemudian, disusul dengan sikap Komando Militer Sulawesi Utara dan Tengah, Kolonel Somba yang menyatakan putus hubungan dengan pusat dan bergabung dengan PRRI.
Pemerintah pusat merespon deklarasi PRRI ini dengan memecat semua perwira militer yang terlibat dalam PRRI, seperti Achmad Husein, Simbolon, Djambek dan sebagainya. Pemerintah pusat juga menyiapkan berbagai operasi untuk melawan PRRI/Permesta.
Situasi di Sumatera Selatan tidak berbeda jauh, karena Komandan TT II/Sriwijaya, Letkol Barlian tidak menunjukkan keberpihakan ke PRRI, tetapi juga tidak tegas ke pusat. Hal ini menimbulkan tidak adanya kepercayaan dari pusat.
Untuk meredam PRRI/Permesta, pemerintah pusat melakukan operasi militer, yakni operasi tegas di Sumatera Timur di bawah Letkol Kaharudin Nasution, Operasi 17 Agustus di bawah Kolonel Ahmad Yani, Operasi Sapta marga di bawah Brigjen Jatikusomo di Sumatera Timur dan Sumatera Utara. Operasi sadar di bawah Pimpinan Letkol Ibnu Sutowo. Sedangkan untuk Permesta digelar operasi Sapta Marga di Sulawesi dan Maluku.
Sebelum Ibnu Sutowo datang dari Jakarta ke Sumatera Selatan, Ibnu Sutowo melakukan kontak dengan Pattiasina. Ketika itu, sejumlah perwira di TT II Sriwijaya masih tetap mengikuti komando dari petinggi militer di Jakarta. Pattiasina merupakan salah satu, yang sangat tegas tetap menjadi bagian tentara pusat. Tapi, Pattiasina mengetahui sejumlah perwira yang sebenarnya bergerak mendukung PRRI. Untuk itu, sebelum pasukan dari pusat mendarat di Palembang, Pattiasina merupakan salah satu perwira yang aktif melakukan koordinasi dengan Ibnu Sutowo.
Sebenarnya, ada dilema sendiri bagi Pattiasiana, karena militer yang berada di kubu PRRI juga merupakan rekan dalam masa perjuangan revolusi fisik. Namun, situasi sangat cepat berubah, karena kawan seperjuangan itu berada di sisi yang berbeda dan saling berhadapan.
Ketika Operasi Sadar digelar, Pattiasina sedang tidak memegang pasukan, karena pada 1957, rekannya di Palembang sudah melihat gejala kalau Pattiasina taat pada perintah petinggi militer di Jakarta. Situasi di Palembang, terutama di militer, praktis tidak mengetahui mana kawan dan lawan. Yang jelas, semua mengetahui Pattiasina mendukung Tentara Pusat.
Selain dukungan pasukan dari pusat yang mendarat di Talang Betutu, sesungguhnya secara militer, Tentara Pusat kalah dalam hal pasukan dan persenjataan. Kondisi ini menyebabkan, Pattiasina memanfaatkan tenaga militer relawan yang diambil dari sekitar Pelabuhan Boom Baru. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Pattiasina memperoleh pasukan relawan, yang meski belum terlatih baik sebagai miiliter, tapi langsung dipersenjatai.
Perwira yang mendukung PRRI secara terang-terangan memberikan tekanan kepada pendukung tentara pusat, termasuk Pattiasina. Hanya saja, mereka semua mengetahui Pattiasina tidak mudah digertak, karena teruji dalam perang kemerdekaan dan gerilya.
Dalam masa Operasi Sadar ini, Mayor Pattiasina dipercaya sebagai asisten Penguasa Militer Palembang. Pattiasina mengetahui rekan-rekannya yang mendukung PRRI. Suatu hari, Pattiasina memanggil salah satu perwira yang juga koleganya di kediamannya, Jalan Gajah Mada No 7. Rupanya, perwira ini datang dengan senjata lengkap dan dikawal.
Pattiasina seperti kebiasaannya hanya duduk memakai sarung. “Wah, senjata dan pakaian kalian baru-baru dan bagus. Dapat dari mana? Sudah punya senjata, tembak lah aku,” Pattiasina menyambut tamunya. Mendapat sambutan seperti itu, tamu merasa malu sendiri. Dia meletakkan senjata di atas meja. Dalam pertemuan itu, Pattiasina meyakinkan agar tetap mematuhi pusat.
Suasana di Palembang menjadi tegang, ketika Letkol Barlian meminta wakilnya, Mayor Nawawi untuk menghadapi pimpinan militer di Jakarta. Yang terjadi, justru Mayor Nawawi membawa pasukan ke luar Kota Palembang. Dari tempat pelarian, Mayor Nawawi mengeluarkan tantangan untuk melawan siapapun yang mengejarnya. Begitu juga Pattiasina dengan pasukan relawan yang sudah dipersenjatai melakukan pengejaran. Pattiasina sangat memahami medan pelarian Nawawi, karena merupakan rekannya sendiri dalam perjuangan kemerdekaan.
Tidak butuh waktu lama untuk mengetahui lokasi Nawawi. Peristiwa ini menandai berakhirnya perlawanan Nawawi, sekaligus mengakhiri perlawanan PRRI di Sumatera Selatan. Sebab, kelompok Nawawi merupakan yang bertahan, setelah Nawawi menyerah, praktis tentara pusat menguasai seluruh Palembang.(bersambung)
Ditulis Oleh: Zulfiqar M.A. Lestaluhu, S.Sos, M.Si
Pengajar di Universitas Darussalam Ambon Kampus Induk Tulehu
from Berita Maluku Online Brigjen TNI (purn) Johannes Marcus Pattiasina (Operasi Sadar, Pilihan Berbeda Rekan Perjuangan - Berita Harian Teratas