(Tulisan ketiga dari 5 tulisan)
Johannes Marcus Pattiasina sedang turun dari pesawat ketika melakukan kunjungan kerja (foto: dok. Keluarga) |
KETIKA itu matahari belum memperlihatkan wajahnya, beberapa truk mengangkut satu batalyon tentara yang dipimpin Pattiasina. Lengkap dengan peralatan dan persenjataan. Perlahan-lahan truk yang beriringan itu meninggalkan Palembang. Tugas berat sudah menunggu di Pangkalan Brandan.
Dalam masa Kabinet Djuanda, pemerintah Indonesia melakukan pengambilihan perusahaan Belanda (nasionalisasi). Selain itu, Kabinet Djuanda mengambil kebijakan untuk menyerahkan pengelolaan perminyakan Sumatera Utara melalui penandatangan persetujuan antara KSAD Jenderal A.H. Nasution dengan Menteri Perdagangan, Prof. Drs. Soenardjo dan Menteri Perindustrian, Ir. Freddy Jaques Inkiriwang.
Poin persetujuan Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian dengan KSAD Jenderal A.H.Nasution itu, antara lain, pengelolaan Tambang Minyak Sumatera Utara (TMSU) harus dibentuk badan hukum, yang seluruh sahammnya dimiliki pemerintah; kepala daerah otonom harus diberikan kesempatan turut serta dalam pembangunan perusahaan ini; pimpinan akan dipegang KSAD sebagai penguasa perang; prioritas harus diberikan kepada perbaikan dan pembangunan tambang minyak, supaya minyak mentah dapat diekspor untuk membiayai pembangunan selanjutnya; Kementerian Perdagangan dan Perindustrian tetap memberikan bimbingan.
Setelah itu, Menteri Perindustrian Inkiriwang memberikan kekuasaan kepada Angkatan Darat untuk membentuk Perusahaan Terbatas (PT). Berdasarkan keputusan itu, Angkatan Darat mendirikan PT. Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera (ETMSU), dengan Ibnu Sutowo, Mayor Harijono sebagai wakil pemerintah. Dewan Direksi terdiri dari, Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, Komandan Militer dan Gubernur Daerah Aceh, Komandan Militer dan Gubernur Sumuatera Utara, yang bertindak selaku wakil negara.
Nama PT. ETMSU tidak bertahan lama, karena Jenderal Nasution meminta diubah, sehingga perusahaan itu benar-benar mewakili sebagai sebuah perusahaan negara. Untuk itu, berdasarkan akte pada 10 Desember 1957, yang merupakan usulan Ir. Anondo, nama PT. ETMSU diubah menjadi PT. Perusahaan Minyak Nasional (Permina).
Setelah pergantian nama perusahaan ini, Ibnu mengangkat staf untuk membantu operasional PT. Permina,yakni Mayor Harijono, Mayor Geudong dan Kapten Affan. Dari ketiga staf Ibnu Sutowo ini sesungguhnya tidak ada yang berlatar belakang perminyakan. Pada tahun 1957 ini, Pattiasina masih berada di Palembang sebagai Komandan Genie Pioner ketika perminyakan diserahkan kepada Angkatan Darat. Namun, ketika Operasi Sadar selesai di Sumatera Selatan, Pattiasina diminta untuk membawa satu batalyon ke Pangkalan Brandan.
Pattiasina membawa anggota genie dengan berbagai kemampuan teknik, tetapi juga handal sebagai tentara. Tidak sulit bagi Pattiasina, karena mengenal persis kualitas anggotanya yang juga terlibat dalam masa perang kemerdekaan dan gerilya di Sumatera Selatan. Ketika tiba di Pangkalan Brandan, Pattiasina hanya menemukan puing-puing kilang di antara rerumputan ilalang. Meski PT. Permina sudah berdiri tapi sebenarnya tidak ada kemajuan dalam pekerjaan di Pangkalan Brandan.
Tidak lama setelah membentuk PT. Permina, Jenderal Nasution mengangkat Kolonel Sumidjo sebagai Direktur Pengelola Operasi Sumatera Utara dan wakil direktur yang terdiri dari Letkol Arif, Mayor Nukum Sanany, Kapten J. Karinda dan Kapten Singarimbun. Mereka ditugasi untuk mengorganisir berbagai gerakan, tetapi tidak membuahkan hasil, karena pertikaian kaum buruh semakin menajam di lapangan. Ketika situasi belum membaik, muncul lagi gerakan PRRI, Letkol Arif yang sedianya menggantikan Kolonel Sumidjo rupanya bergabung dengan PRRI. Sedangkan, Sumidjo ditarik kembali ke Jakarta dan Mayor Geudong yang baru bertugas di bidang keuangan dan administrasi mengisi jabatan yang ditinggalkan Sumidjo.
Penempatan Mayor Geudong itu tidak lepas dari latar belakang Mayor Geudong sebagai orang Aceh, yang diharapkan memiliki pendekatan yang baik dengan gerilyawan di Aceh dan Sumatera Utara. Karena tidak memiliki pasukan, Mayor Geudong harus pandai-pandai minta pengawalan dari pasukan yang ada. Akibatnya, upaya perbaikan tidak sesuai harapan.
Kedatangan Pattiasina dan pasukannya menghadapi tantangan yang tidak ringan, pipa mengalami kerusakan berat. Dari empat instalasi pipa ukuran 8 (delapan) inchi untuk menyalurkan minyak dari lapangan minyak ke Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu, hanya ada satu pipa yang bisa digunakan. Tangki kilang hanya rongsokan dan puing-puing sisa aksi bumi hangus. Bukan cuma itu, upaya perbaikan menjadi masalah tersendiri yang dihadapi PT. Permina, karena lapangan minyak dan pipa berada dalam jangkauan DI/TII, sehingga upaya perbaikan sangat berisiko.
Kerumitan yang dihadapi Pattiasina rupanya belum cukup, karena PRRI juga masih eksis di Sumatera Utara dan Aceh. Sementara di kalangan pekerja minyak, juga menghadapi persoalan yang tidak kalah rumit, karena adanya perbedaan antara Pribumi dan non Pribumi. Posisi Pribumi yang berafiliasi ke PKI mempunyai posisi yang sangat kuat, sehingga tidak bisa dipandang enteng.
Berada di antara tumpukan masalah itu, tidak membuat Pattiasina patah arang. Belum lagi, keterbatasan logistik yang dialami pasukan Pattiasina menjadi pelengkap dari semua persoalan yang harus dihadapi Pattiasina.
Kondisi lapangan di Pangkalan Brandan, ini setidaknya memberikan penjelasan mengapa Kabinet Djuanda memberikan pengelolaan TMSU kepada Angkatan Darat. Situasi yang ada bukan sekadar membutuhkan figur tentara, tetapi juga membutuhkan kualifikasi teknik dan kepemimpinan yang berani dan tegas. Tanpa syarat ini, tentara hanya menjamin keamanan, tetapi tidak akan mampu menyelesaikan perbaikan pipa dan kilang minyak, pelabuhan dan sebagainya. Jadi, bukan tanpa alasan, kalau pimpinan TNI AD menaruh kepercayaan kepada Mayor Pattiasina. Apalagi, Direktur Utama Permina, dr. Ibnu Sutowo sangat mengetahui kemampuan dan keberanian Pattiasina dalam menghadapi setiap persoalan. Pattiasina bukan saja ditempa keahlian teknik ketika menjadi teknisi senior di kilang Plaju dan Sungai Gerong, tetapi juga ditempa dalam masa perang dan gerilya.
Keahlian Pattiasina dalam memperbaiki kilang ini yang menyebabkan dirinya dikejar Jepang pada masa pendudukan Jepang. Selain itu, keahlian ini juga yang digunakan untuk mensuplai minyak bagi perjuangan di Sumatera Selatan. Keahlian Pattiasina lagi-lagi dibutuhkan untuk menyelesaikan kerumitan yang terjadi di Pangkalan Brandan.
Sebelum melakukan upaya perbaikan pipa dan kilang, Pattiasina harus memastikan terlebih dahulu, jalur yang digunakan untuk memperbaiki pipa dan kilang, serta lokasi lapangan minyak berada dalam kondisi aman dari gangguan DI/TII atau dari bebagai kelompok lain. Selain itu, Pattiasina harus memastikan semua tenaga kerja yang tergabung dalam Perbum mendukung upaya perbaikan kilang yang memang sangat dibutuhkan. Dengan syarat dua kondisi ini yang memungkinkan upaya perbaikan instalasi dan kilang minyak dapat dilakukan.
Kondisi Pangkalan Brandan jauh dari indah. Di sana-sini hanya dipenuhi onggokan rongsokan pipa dan kilang. Rumah tinggal juga sangat terbatas, bukan karena persoalan bersih, tetapi juga rumah yang dipenuhi dengan nyamuk. Tempat tinggal Pattiasina terpaksa harus dipasangi dengan kain kasa yang mengelilingi kamar tidur, kemudian memakai kelambu. (bersambung)
Ditulis Oleh: Zulfiqar M.A. Lestaluhu, S.Sos, M.Si
Pengajar di Universitas Darussalam Ambon Kampus Induk Tulehu
from Berita Maluku Online Brigjen TNI (purn) Johannes Marcus Pattiasina, Merintis Pertamina dari Puing Pangkalan Brandan - Berita Harian Teratas