AMBON - BERITA MALUKU. Komisi A DPRD Provinsi Maluku melakukan kunjungan kerja (kunker) ke kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Wilayah Maluku, Senin (26/8). Kunker Komisi A tersebut diterima langsung oleh Kepala Kantor Kemenkumham Wilayah Maluku, Andi Nurka, beserta seluruh Kepala Divisi.
Dalam kunker tersebut terkuak, jika ada sekitar 106 buah Peraturan Daerah (Perda) se-Provinsi Maluku bermasalah, dari total 4.000 lebih perda di seluruh Indonesia.
"Kami (Kemenkumham), khususnya wilayah kerja Wilayah Maluku masih mencari sumber masalahya dimana. Selain itu, kami juga menyesalkan, setiap pembuatan perda oleh Pemerintah Daerah (Pemda), tidak mencantumkan tentang kearifan local kabupaten/kota setempat ataupun terkait Hak Asasi Manusia (HAM)," kata Kepala Divisi (Kadiv) Pelayanan Hukum (Yankum) Kemenkumham Wilayah Maluku, M.J Mataheru saat kunker itu.
Menurut dia, beberapa tahun yang lalu, kurang lebih ada 4.000 perda yang bermasalah di seluruh Indoensia. Maluku sendiri terdapat 106 buah perda yang bermasalah. Pihaknya, kata Mataheru, belum mengetahui permasalahannya dimana. Namun piahknya mencurigai, perda tersebut bermasalah, lantaran tidak memiliki muatan kearifan lokal dan HAM.
“Kenapa kearifan lokal itu sangat penting? Karena, judul silahkan boleh sama, tetapi kearifan lokal budaya setempat itu harus diperhatikan. Sebab, perda dibuat itu, manfaat untuk masyarakat. Nah, bagaimana kalau tidak ada manfaatnya buat masyarakat, kearifan lokalnya tidak ada? Jadi, itulah 106 buah perda yang bermasalah untuk Maluku. Tugas kantor Kemenkumham Provinsi Maluku adalah, sudah kami kaji kurang lebih ada 30 perda yang bermasalah, karena kita disini kurang lebih ada 22 perancang, tugas kami untuk melihat lagi, 106 buah perda ini masalahnya ada dimana,” ungkap Mataheru.
Menyikapi hal tersebut Wakil Ketua Komisi A DPRD Provinsi Maluku, Constansius Kolatfeka mengapresiasi usulan tersebut. Dia menilai, perda-perda berbasis kearifan lokal wilayah setempat adalah, upaya sinergisitas dalam rangka membangun dan menata kelola pemerintahan yang baik.
“Ini adalah upaya sinergisitas dalam rangka membangun dan menata kelola pemerintahan yang baik, dalam rangka pelayanan publik di Maluku. Olehnya itu, Komisi A memberikan apresiasi sungguh kepada Kementerian Hukum dan Ham Wilayah Maluku, dalam rangka menawarkan gagasan, ide-ide, menawarkan program-program kerja yang bagi saya, sangat maksimal dalam rangka membangun pelayanan publik di Maluku,” katanya.
Menurutnya, ada sejumlah alasan kenapa kurang lebih 100 lebih peraturan daerah di Maluku ditolak oleh kementerian. Yang pertama, konsultasi-konsultasi pasal, soal anggaran dan lain-lain, tetapi juga soal kearifan lokal dan hak asasi manusia, tidak memberikan satu bentuk intisari dalam muatan perda. Padahal, hal ini sangat penting sekali, bagaimana melindungi hak asasi manusia bagi setiap warga negara yang ada.
"Kedua, bagaimana pembanguann sebuah wilayah dalam bentuk regulasi, harus menjunjung tinggi kearifan lokal. Untuk itu, bagaimana kita mendorong sinergisitas, koordinasi kemitraan dengan Kementerian Hukum dan Ham ke depan, itu sangat strategis dalam rangka menggolkan perda-perda kita. Kalau ini selalu kita pakai pihak lain, kemudian kurang atau tidak memaksimalkan koordinasi dengan pihak kemenkumham, itu juga salah,” tegas Kolatfeka.
Padahal, Menurut Kolatfeka, dalam konsultasi perda di kementerian itu, bukan saja Kementerian Dalam Negeri, tetapi juga dengan Kemenkumham. “Untuk itu, sebelum jauh ditelaah di pusat, maka enaknya kita sudah sama-sama dengan Kementerian Hukum dan Ham di sini. Ini sebenarnya substansinya,” tandas dia.
Dalam kunker tersebut terkuak, jika ada sekitar 106 buah Peraturan Daerah (Perda) se-Provinsi Maluku bermasalah, dari total 4.000 lebih perda di seluruh Indonesia.
"Kami (Kemenkumham), khususnya wilayah kerja Wilayah Maluku masih mencari sumber masalahya dimana. Selain itu, kami juga menyesalkan, setiap pembuatan perda oleh Pemerintah Daerah (Pemda), tidak mencantumkan tentang kearifan local kabupaten/kota setempat ataupun terkait Hak Asasi Manusia (HAM)," kata Kepala Divisi (Kadiv) Pelayanan Hukum (Yankum) Kemenkumham Wilayah Maluku, M.J Mataheru saat kunker itu.
Menurut dia, beberapa tahun yang lalu, kurang lebih ada 4.000 perda yang bermasalah di seluruh Indoensia. Maluku sendiri terdapat 106 buah perda yang bermasalah. Pihaknya, kata Mataheru, belum mengetahui permasalahannya dimana. Namun piahknya mencurigai, perda tersebut bermasalah, lantaran tidak memiliki muatan kearifan lokal dan HAM.
“Kenapa kearifan lokal itu sangat penting? Karena, judul silahkan boleh sama, tetapi kearifan lokal budaya setempat itu harus diperhatikan. Sebab, perda dibuat itu, manfaat untuk masyarakat. Nah, bagaimana kalau tidak ada manfaatnya buat masyarakat, kearifan lokalnya tidak ada? Jadi, itulah 106 buah perda yang bermasalah untuk Maluku. Tugas kantor Kemenkumham Provinsi Maluku adalah, sudah kami kaji kurang lebih ada 30 perda yang bermasalah, karena kita disini kurang lebih ada 22 perancang, tugas kami untuk melihat lagi, 106 buah perda ini masalahnya ada dimana,” ungkap Mataheru.
Menyikapi hal tersebut Wakil Ketua Komisi A DPRD Provinsi Maluku, Constansius Kolatfeka mengapresiasi usulan tersebut. Dia menilai, perda-perda berbasis kearifan lokal wilayah setempat adalah, upaya sinergisitas dalam rangka membangun dan menata kelola pemerintahan yang baik.
“Ini adalah upaya sinergisitas dalam rangka membangun dan menata kelola pemerintahan yang baik, dalam rangka pelayanan publik di Maluku. Olehnya itu, Komisi A memberikan apresiasi sungguh kepada Kementerian Hukum dan Ham Wilayah Maluku, dalam rangka menawarkan gagasan, ide-ide, menawarkan program-program kerja yang bagi saya, sangat maksimal dalam rangka membangun pelayanan publik di Maluku,” katanya.
Menurutnya, ada sejumlah alasan kenapa kurang lebih 100 lebih peraturan daerah di Maluku ditolak oleh kementerian. Yang pertama, konsultasi-konsultasi pasal, soal anggaran dan lain-lain, tetapi juga soal kearifan lokal dan hak asasi manusia, tidak memberikan satu bentuk intisari dalam muatan perda. Padahal, hal ini sangat penting sekali, bagaimana melindungi hak asasi manusia bagi setiap warga negara yang ada.
"Kedua, bagaimana pembanguann sebuah wilayah dalam bentuk regulasi, harus menjunjung tinggi kearifan lokal. Untuk itu, bagaimana kita mendorong sinergisitas, koordinasi kemitraan dengan Kementerian Hukum dan Ham ke depan, itu sangat strategis dalam rangka menggolkan perda-perda kita. Kalau ini selalu kita pakai pihak lain, kemudian kurang atau tidak memaksimalkan koordinasi dengan pihak kemenkumham, itu juga salah,” tegas Kolatfeka.
Padahal, Menurut Kolatfeka, dalam konsultasi perda di kementerian itu, bukan saja Kementerian Dalam Negeri, tetapi juga dengan Kemenkumham. “Untuk itu, sebelum jauh ditelaah di pusat, maka enaknya kita sudah sama-sama dengan Kementerian Hukum dan Ham di sini. Ini sebenarnya substansinya,” tandas dia.
from Berita Maluku Online - Berita Harian Teratas