(Tulisan terakhir dari 5 tulisan)
Johannes Marcus Pattiasina bersama koleganya dr. Ibnu Sutowo. (foto:dok.keluarga) |
Jadi, tidak butuh waktu lama, karena dari puing-puing, Permina kini menjelma menjadi perusahaan yang memiliki daya tarik. Hanya selisih satu tahun dari pengiriman minyak perdana, Permina sudah dipercaya untuk membeli kapal secara kredit. Pada tahun 1959, Permina membeli dua kapal tanker kecil dari Caltex dengan cara mencicil. Kapal jenis river tanker itu memiliki kapasitas 3.3220 dwt atau hampir sama dengan kapal yang mengangkut minyak perdana ke Jepang. Kapal bekas Caltex ini dinamai Permina I dan Permina II.
Sejak 1958 sampai 1962, Pattiasina sebenarnya bukan hanya fokus untuk mengurus peminyakan di Sumatera Utara, tetapi juga terlibat dalam pemulihan masalah keamanan. Selain DI/TII, juga masih ada PRRI, sehingga Pattiasina juga tetap terlibat dalam pengamanan karena membawahi satu Batalyon dari TT-II Sriwijaya.
Pada tahun 1964, Letkol J.M. Pattiasina mendapat tugas belajar ke Amerika di University South of California. Namun, belajar di Amerika hanya sekadar penyegaran, karena pengalaman Pattiasina di perminyakan justru membuat takjub para pengajar. Selama di Amerika, Pattiasina tetap menjabat sebagai Direktur Teknik Permina. Jadi, setelah kembali ke Indonesia, Pattiasina tidak ke Pangkalan Brandan tetapi langsung bertugas di Kantor Pusat Permina, di Jalan Perwira, Jakarta.
Keberangkatan pattiasina ke Amerika menandai berakhirnya satu era di Sumatera Utara. Kesan ini ditangkap dari penjelasan para pejabat lama di Sumatera Utara ketika berbicara tentang Pattiasina. Sebelum kedatangan Pattiasina ke Pangkalan Brandan, hampir tidak ada satupun yang dicapai. Bagi mereka, Pattiasina adalah orang yang menggerakkan Permina. Orangnya tegas dan kontroversial Banyak kecaman diarahkan kepadanya pada tahun-tahun menguasai Sumatera Utara. Jika ada, sedikit sekali yang bisa menyangkal keharusan adanya orang yang mempunyai kekuatan dan keyakinan yang mendalam dengan kedudukan seperti itu pada saat itu.
Tekanan kepada Pattiasina, bukan hanya keberadaan DI/TII, PRRI, situasi nasional yang tidak stabil, tetapi juga pertentangan di kalangan pekerja di Pangkalan Brandan. Belum lagi, dengan berbagai keterbatasan untuk membiayai operasional Permina dan menggaji karyawan. Tapi, semua tekanan itu belum lengkap, karena Permina Pangkalan Brandan “dihantam” di media massa dan tidak terhitung surat kaleng yang mendiskreditkan Pattiasina. Semua itu dianggap angin lalu, karena pattiasina memiliki tujuan dan sasaran yang harus dicapai. Indonesia mengelola sendiri sumber daya minyak.
Pengagum Pattiasina kemudian terdiri dari para teknisi muda yang bekerja di bawahnya, dan mereka yang tidak sependapat dengannya di dalam organisasi pada masa tahun-tahun yang sulit.
Sama pentingnya dengan pengalamannya dalam bisnis minyak ketika mengembangkan Permina, mungkin yang jauh lebih vital adalah kemauannya untuk berdiri teguh dan melawan kelompok mana saja yang mengancam keselamatan Permina.
Sikap Pattiasina selama di Sumatera Utara membuat para karyawan mengucapkan terima kasih kepada Pattiasina. Dalam sebuah booklet yang disiapkan untuk ulang tahun kesembilan di Pangkalan Brandan dinyatakan: “Dia mengurus segala sesuatu dengan teratur…dengan berani memimpin organisasi dan personel…bersama-sama orang yang dipandangnya tepat berdasarkan pengalaman mereka dan kemampuan di lapangan tanpa melihat pada partai atau kelompok mereka.
Besi-besi tua dan peralatan penting yang telah dijual dikumpulkan kembali…Gaji dan catu yang diberikan kepada anggota PKI yang tidak bekerja dihentikan…pekerja yang tidak disiplin dipindahkan atau diberhentikan…Setelah Pattiasina melakukan pembersihan Permina, hanya pekerja yang bersedia untuk bekerja yang ada di sana. Sekalipun sebagian besar di antara mereka itu sudah tua dan tidak punya pendidikan tinggi, mereka mempunyai kemauan kuat dan menjalankan pengalamannya…Kami merasa bahwa kami bukan lagi bekerja di zaman colonial yang hanya bekerja untuk makan tanpa ada tanggung jawab terhadap perusahaan…Kami didorong oleh suatu ide menyelesaikan revolusi bagi kemuliaan negara…membuat kemajuan di bawah pimpinan dr. Ibnu Sutowo dan Pattiasina”.
Pattiasina meninggalkan Pangkalan Brandan dengan penuh kenangan. Kisah yang perlu ditulis dengan tinta emas di Pangkalan Brandan. Masa yang penuh dengan duka, dengan berbagai cobaan. Tanpa karakter “keras” seperti Pattiasina, bisa saja harapan Indonesia untuk mengelola sendiri sumber minyak hanya sebatas harapan. Pengalaman panjang di bisnis perminyakan Hindia Belanda, kemampuan teknik dan karakter sebagai seorang tentara, telah membawa sejarah baru bagi Indonesia, kalau Indonesia sanggup merdeka, termasuk sanggup mengelola sumber daya alamnya sendiri.
Figur Pattiasina bukan tentara yang kemudian masuk dan dikaryakan dalam bisnis minyak. Tapi, Pattiasina sudah lama bergelut dengan perusahaan minyak hingga menduduki jabatan teknisi senior pada perusahaan asing pada zaman Hindia Belanda. Sebuah jabatan yang hanya segelintir orang pribumi yang bisa duduk pada posisi seperti itu.
Namun, sukses besar Permina di Pangkalan Brandan seolah tidak cukup untuk menjadi kebanggaan. Justru, Pattiasina menorehkan catatan di Tugu Pangkalan Brandan, “Tidak ada alasan untuk berbangga, namun kerangka lapuk ini menjadi saksi abadi kami kepada Nusa dan Bangsa”. Ungkapan ini menjelaskan, pengorbanan besar yang disertai dengan keiklasan di Pangkalan Brandan, semuanya dilakukan demi Nusa dan Bangsa.
Dari Pangkalan Brandan Pattiasina pindah ke Jakarta sebagai Direktur Teknik Pertamina. Pada masa Pattiasina ini, Pertamina membeli perusahaan minyak Belanda di Sorong. Untuk mengatasi kesulitan tenaga, Pattiasina memanfaatkan anak-anak muda yang baru lulus dari ITB Bandung.
Generasi awal Permina di Sorong ini, antara lain, ada Bangsa Soelissa, Said Jabar, Ir. Bagiona, Kadri, Chang, Hasmi, Benny Sutedja (Bagian Keuangan), John Louhanapessy, dan Max Pattiasina. Dia sengaja mencari anak muda untuk dikirim ke ujung Timur Indonesia, bukan saja menjadi tempat untuk menimba pengalaman, tetapi agar anak muda bisa memahami Indonesia yang luas ini.
Di kemudian hari, anak-anak muda “lulusan” Sorong ini menjabat posisi penting di Pertamina. Jejak anak-anak muda generasi awal di Sorong ini masih bisa ditemukan saat ini, karena lapangan minyak baru di Sorong masih tetap beroperasi sampai saat ini.
Pattiasina pensiun dari militer di akhir dekade 1960-an. Masih terus berkiprah di Pertamina sampai berhenti setelah menyelesaikan Kilang Dumai di Riau pada tahun 1971.
Kekuatan tidak datang dari apa yang bisa anda lakukan, tetapi datang dari cara anda mengatasi hal-hal yang dulu Anda pikir tidak bisa anda lakukan. Sekian (*)
Ditulis Oleh: Zulfiqar M.A. Lestaluhu, S.Sos, M.Si
Pengajar di Universitas Darussalam Ambon Kampus Induk Tulehu
from Berita Maluku Online Brigjen TNI (purn) Johannes Marcus Pattiasina, Apresiasi Dari Pangkalan Brandan - Berita Harian Teratas