Ketua PUK SPKEP SPSI PT Freeport non aktif, Sudiro, menyerahkan data kasus PHK kepada Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai di Timika Juni lalu Foto : Sevianto |
TMIKA,KABARMAPEGAA.com--Komisioner Komnas HAM RI Natalius Pigai mengancam akan membawa kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ribuan karyawan PT Freeport Indonesia (PTFI) ke Dunia Internasional jika perusahaan itu tidak memiliki niat baik untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Natalius mengatakan, PHK yang dilakukan oleh Manajemen PT Freeport Indonesia merupakan pelanggaran terhadap asas kemanusiaan. Pasalnya, akibat PHK tersebut, ribuan karyawan dan keluarganya saat hidup sengsara karena tidak memiliki pendapat tetap.
"Saya akan jatuhkan citra Freeport di mata dunia jika mereka tidak segera menyelesaikan masalah ini, dan mengembalikan karyawan yang telah mereka PHK," kata Pigai di Timika, Jumat (11/8/17) dikutip seputarpapua.com
Komnas HAM, katanya, minggu ini telah mengirim surat panggilan pertama kepada pimpinan PT Freeport Indonesia untuk hadir di Jakarta membicarakan masalah ini bersama Komnas HAM.
"Kalau dia ((Freeport) tidak indahkan satu kali 14 hari kerja, nanti saya kirim pangilan kedua. Kalau panggilan kedua tidak datang, maka saya minta ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memanggil paksa mereka," tegasnya.
Natalius mengemukakan, PHK sekitar 8.100 pekerja Freeport benar-benar telah mencederai prinsip kemanusiaan. Kondisi ini menurutnya sudah sangat memprihatinkan. Karenanya Freeport harus bertanggugjawab.
"Freeport harus bertanggungjawab untuk menyelesaikan masalah ini secara arif dan bijaksana. Pekerja cuma minta dua hal, pertama mengembalikan mereka ke posisi semula, dan kedua hak-haknya dipenuhi dan itu harus mutlak dilaksanakan," kata dia.
Menurut Pigai, jika Freeport tidak memiliki niat baik mengembalikan ribuan karyawan yang telah di-PHK, maka sama halnya Freeport telah menambah kemiskinan dan kesengsaraan rakyat Indonesia.
"Yang menjadi korban dalam mogok kerja ini adalah 80 persen masyarakat non Papua. Mereka ini tidak memiliki apa-apa lagi untuk pegangan hidup. Mereka hanya hidup dari gaji," ujarnya.
Pigai mengatakan, dua bulan lalu dirinya telah menemui ribuan karyawan korban PHK di Timika. Dia juga telah bertemu dengan manajemen PT Freeport untuk memperoleh data-data real mengenai masalah ini.
“Setelah itu, sampai di Jakarta saya undang presiden Freeport tapi dia utus vice president dan manajer. Saya usir mereka. Ini bukan untuk mencari data atau mau berargumentasi. Tetapi ini untuk mengambil keputusan, mau tidak mengembalikan karyawan ke tempat semula,” kata Pigai.
Seperti diketahui, masalah ini berawal dari adanya kebijakan furlough (merumahkan sementara) ribuan karyawan menyusul penghentian izin ekspor konsentrat PT. Freeport Indonesia oleh pemerintah karena tidak memiliki niat baik untuk membangun pabrik Smelter (Pemurnian) di dalam negeri sesuai amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara Februari lalu.
Kebijakan ini menimbulkan keresahan di kalangan pekerja. Ribuan pekerja kemudian melakukan aksi mogok kerja pertanggal 1 Mei bertepatan pada peringatan May Day 2017.
Aksi mogok kerja karyawan dianggap tidak sah, lalu manajemen Freeport menyatakan ribuan karyawan mogok telah mangkir dari tempat kerja. Mereka diklaim telah mengundurkan diri secara sukarela.
Freeport menyebut keputusan mereka sudah sesuai UU Ketenagakerjaan dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Namun serikat pekerja mengatakan kebijakan furlough tidak dikenal dalam UU, kemudian PHK Freeport adalah keputusan sepihak.
"Saya akan jatuhkan citra Freeport di mata dunia jika mereka tidak segera menyelesaikan masalah ini, dan mengembalikan karyawan yang telah mereka PHK," kata Pigai di Timika, Jumat (11/8/17) dikutip seputarpapua.com
Komnas HAM, katanya, minggu ini telah mengirim surat panggilan pertama kepada pimpinan PT Freeport Indonesia untuk hadir di Jakarta membicarakan masalah ini bersama Komnas HAM.
"Kalau dia ((Freeport) tidak indahkan satu kali 14 hari kerja, nanti saya kirim pangilan kedua. Kalau panggilan kedua tidak datang, maka saya minta ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk memanggil paksa mereka," tegasnya.
Natalius mengemukakan, PHK sekitar 8.100 pekerja Freeport benar-benar telah mencederai prinsip kemanusiaan. Kondisi ini menurutnya sudah sangat memprihatinkan. Karenanya Freeport harus bertanggugjawab.
"Freeport harus bertanggungjawab untuk menyelesaikan masalah ini secara arif dan bijaksana. Pekerja cuma minta dua hal, pertama mengembalikan mereka ke posisi semula, dan kedua hak-haknya dipenuhi dan itu harus mutlak dilaksanakan," kata dia.
Menurut Pigai, jika Freeport tidak memiliki niat baik mengembalikan ribuan karyawan yang telah di-PHK, maka sama halnya Freeport telah menambah kemiskinan dan kesengsaraan rakyat Indonesia.
"Yang menjadi korban dalam mogok kerja ini adalah 80 persen masyarakat non Papua. Mereka ini tidak memiliki apa-apa lagi untuk pegangan hidup. Mereka hanya hidup dari gaji," ujarnya.
Pigai mengatakan, dua bulan lalu dirinya telah menemui ribuan karyawan korban PHK di Timika. Dia juga telah bertemu dengan manajemen PT Freeport untuk memperoleh data-data real mengenai masalah ini.
“Setelah itu, sampai di Jakarta saya undang presiden Freeport tapi dia utus vice president dan manajer. Saya usir mereka. Ini bukan untuk mencari data atau mau berargumentasi. Tetapi ini untuk mengambil keputusan, mau tidak mengembalikan karyawan ke tempat semula,” kata Pigai.
Seperti diketahui, masalah ini berawal dari adanya kebijakan furlough (merumahkan sementara) ribuan karyawan menyusul penghentian izin ekspor konsentrat PT. Freeport Indonesia oleh pemerintah karena tidak memiliki niat baik untuk membangun pabrik Smelter (Pemurnian) di dalam negeri sesuai amanat UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara Februari lalu.
Kebijakan ini menimbulkan keresahan di kalangan pekerja. Ribuan pekerja kemudian melakukan aksi mogok kerja pertanggal 1 Mei bertepatan pada peringatan May Day 2017.
Aksi mogok kerja karyawan dianggap tidak sah, lalu manajemen Freeport menyatakan ribuan karyawan mogok telah mangkir dari tempat kerja. Mereka diklaim telah mengundurkan diri secara sukarela.
Freeport menyebut keputusan mereka sudah sesuai UU Ketenagakerjaan dan Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Namun serikat pekerja mengatakan kebijakan furlough tidak dikenal dalam UU, kemudian PHK Freeport adalah keputusan sepihak.
Pewarta: Eki Gobai/SP