Oleh: Jandri Tuhumury
2018 menjadi tahun yang di awali dengan suhu politik yang sangat panas. Pilkada serentak yang dilakukan di berbagai daerah yang akan dilaksanakan pada Juni 2018 mendatang, seakan menjadi pertarungan di antara harga diri dan gengsi antar figur maupun parpol pengusung.
Ironisnya, pertarungan di antara para kompetitor dan pendukungnya, selalu menjadikan rakyat sebagai tumbal akan kontradiktif di masa kampanye dengan fakta di kala mereka telah berkuasa.
2018 semakin memunculkan keramaian, perang spanduk di mana-mana, kata-kata indah dan penuh makna pun menghiasinya. Seakan ingin dipamerkan bahwa politisi juga puitis.
2018 juga membuat banyak orang seperti kerasukan jiwa sosial. Bantuan sana sini, banyak figur berhati malaikat membuat rakyat semakin terpikat.
Kemiskinan, kesenjangan, keterbelakangan seakan menjadi musuh bersama di kala mereka membutuhkan suara, pembangunan infrastruktur, menciptakan lapangan kerja, akses dan koneksitas antar pulau, kesehatan dan pendidikan yang berkualitas semua di obral dalam janji yang terkadang menyisahkan perih tanpa bukti.
Persaingan yang ketat terkadang membuat semua kelebihan pihak lain di abaikan, namun kekurangan sekecil apapun selalu di kritisi dengan argumentasi yang tanpa ada solusi.
Semua orang seakan menjadi sok suci tanpa kelemahan. Mereka seoalah menjadi Tuhan bagi orang lain, menghakimi tanpa mau dihakimi.
Kompetisi demokrasi pun membuat semua orang lupa profesi, seakan semua sisi adalah kompetisi tanpa harus berkolaborasi, sehingga terkadang pilkada hanya menjadi ajang balas dendam bagi yang bukan barisan pemenang dan ajang pamer kekuatan bagi sang petahana.
Perang gagasan di antara visi misi hanyalah formalitas demi menunjukan jika mereka berkualitas dan pantas untuk dipilih, namun hilang diterkam waktu dikala mereka telah nyaman di singgasana.
Bahkan kaum-kaum intelektual terjebak pada ruang-ruang politik, moral dan etika diinjak-injak demi menghantarkan pasanganya sampai ke puncak. Kekritisan dihibahkan pada penguasa, nurani seakan tergadaikan hingga menjadi pengkhianat dan pecundang intelektualitas.
Sikap saling menjatuhkan acapkali menjadi hal yang viral di media sosial, bahkan harus berujung pada aksi saling lapor yang membuat pesta demokrasi semakin kotor dan jauh dari harapan akan perubahan.
Perang data yang dirilis pun menjadi bagian dari Drama Pilkada yang banyak menjadi perdebatan dari seluruh kalangan sehingga masyarakat dilema antara fakta dan rekayasa, namun bagi pasangan calon yang terpenting adalah menepuk dada di kala survei mendudukan mereka di puncak tahta.
Namun, semua keputusan kembali kepada pemilik pesta demokrasi, yakni Rakyat sebagai pemegang kedaulatan.
Semoga mata hati yang menjadi ukuran menentukan pilihan, bukan mata uang berdaulat di bilik suara yang selalu berbuah hampa.
Karena Pemimpin dambaan adalah mereka yang hadir sebagai penjual harapan, seperti kata Napaleon Bonarpate, dan pemimpin sejati adalah mereka yang mampu membawa perubahan dan memberi wajah baru di kala pembangunan semakin kusut dari kata kesejahteraan dan pemerataan.
Semoga mereka yang HEBAT semakin SANTUN dalam berpolitik untuk menjadikan maluku sebagai BAILEO atau rumah kebanggaan bersama atas akar budaya untuk MALUKU JAYA ….. !!!!!!!!!!!!
from Berita Maluku Online Pameran "Janji Klasik" di Musim Pilkada - Berita Harian Teratas